Monday 17 February 2014

Semut Dreams

Suatu hari di sebuah rumah di komplek pesantren, seekor semut menghentikan langkahnya. Dia terperangah melihat sebuah layar bercahaya. Dari layar tersebut dia melihat beragam gambar dan warna. Bergerak dinamis. Ribuan hewan seperti kerbau berwarna coklat berlari cepat. Setelah gambar di padang sahara yang sebagian telah kering ditinggal hujan, muncul gambar baru. Jutaan ikan berenang ke ke satu arah. Menembus asinnya air laut menuju sungai yang tawar. Mata semut hitam tidak berkedip. Takjub.
Dia lupa tujuan utamanya. Indra penciuman yang menuntun langkah ke sebuah meja besar di tengah rumah diabaikan. Setumpuk makanan yang menyandera hidungnya dengan bau sedap sudah tidak dianggap. Perutnya mendadak penuh. Naluri makannya raib seketika. Dia membayangkan sesuatu yang luar biasa. Semut hitam terpaku di depan layar lebar bercahaya.
“Aku tidak sebesar kerbau.” Sebuah pemikiran terlintas di kepalanya. Semut hitam masih terhipnotis gerakan simultan kaki-kaki binatang mamalia besar yang berjalan dan sesekali berlari mengejar hujan. Ribuan kilo ditempuh. Segala halangan dan rintangan diterjang. Cakar tajam singa betina dilewati meski sempat melukai beberapa anggota caravan. Tebing terjal dilompati. Sungai deras dilalui. Meski beberapa ekor harus merenggang nyawa di buasnya moncong buaya. Kelompok besar mamalia tersebut terus bergerak maju. Sebelum tuntas kedatangan kemarau, mereka harus sudah berlabuh di savana baru.
“Tapi aku ingin jalan-jalan.” Semut hitam menyadari keterbatasan dirinya. Fisiknya tidak mendukung untuk menempuh jarak ribuan kilo. Kakinya meski lebih banyak dari pada kelompok mamalia, tapi tidak memiliki kekuatan yang sama. Kakinya rapuh, bahkan lebih rapuh dari bulu yang menyelimuti kulit mamalia. Dengan kaki seperti itu tidak mungkin dia bisa melakukan perjalanan jauh. Dari Leuwimekar ke Luewiliang saja dia harus menghabiskan beberapa bulan perjalanan. Padahal hanya berjarak satu kilo meter. Apalagi harus berjalan ke Bogor yang jaraknya hampir dua puluh kilo meter. Mungkin dia sudah merenggang nyawa sebelum sempat mencium harum tanah kota Bogor.
Meski sadar akan keterbatasannya, semut hitam tidak bisa memadamkan letupan semangat dalam dirinya. Dia sudah kandung terpesona dengan perjalanan jauh yang dilakukan oleh kelompok mamalia. Dia kandung takjub dengan proses migrasi ikan Salmon. Dia sudah terhipnotis siaran National Geographic Canel yang diintipnya. Migrasi sangat menawan hati. Meski menuntut pengorbanan tenaga waktu bahkan nyawa, perjalanan panjang tetap memukau.
“Bagaimana caranya agar aku bisa melakukan perjalanan jauh?” Semut hitam terus memutar kepala. Mencari cara agar apa yang dia idamkan bisa menjadi kenyataan. Dia sungguh tidak bisa berdiam diri. Dalam pikirannya hanya ada bayang-banyang migrasi. Berjalan sejauh yang bisa ditempuh. Sempat terlintas bayangan air. Air tidak pernah berhenti mengalir. Setiap saat terus bergerak mencari muara.
“Aku akan ceburkan diri ke dalam arus air sungai.” Demikian tekad semut hitam. Segera dia mengatur langkah. Jarak dirinya dan sungai sekitar dua ratus meter. Di arah Timur rumah yang dia jadikan sarang, ada sungai besar. Dia tidak pernah pergi ke sana. Dia tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri posisi sungai tersebut. Tapi deru arus air yang kadang terdengar sampai sarang, membuat dia yakin bahwa sungai tersebut cukup besar. Dengar berjalan beberapa hari dia akan sampai di tepi sungai. Menceburkan diri kemudian pasrah dibawa ke manapun oleh arus.
“Selamatkah aku.” Pikiran negative melintas. Dirinya yang kecil di tengah arus besar air seperti titik di dinding langit. Tidak ada jaminan dia selamat. Di sepanjang perjalanan pun dia tidak bisa menikmati aroma kehidupan. Saat arus besar menyeret tubuh kecilnya, aroma kematian yang benyelubungi diri. Bukan sebuah keputusan yang bagus. Menyeburkan diri dalam arus hanya mengantarkan nyawa.
Dalam frustasi semut hitam kecil berjalan lunglai. Dia tidak tahu arah. Jalan pulang ke sarang bukan tujuan. Aroma makanan lezat di atas meja sudah lama terhapus dari memori. Langkah gontainya dibiarkan menuju arah yang dimau. Setelah beberapa ratus langkah, dia mendapatkan kegelapan. Gelagapan semut hitam menyikap tabir. Berjalan ke luar lorong gelap. Secercah cahaya dilihat di ujung jalan. Ternyata dia terperangkap di kantong celana pemilik rumah.
Belum sempat semut hitam meloncat, laki-laki yang dari tadi duduk santai di depan tivi beranjak pergi. Remot tivi di raih. Layar yang menghadirkan jutaan gambar dan warna dengan iringan suara beraneka mendadak gelap. Semut hitam sudah tidak punya jalan ke luar. Dia pasrah.
Laki-laki melangkahkan kaki ke dalam kamar. Mengambil kunci. Suara mesin kendaraan menderu. Semut hitam kecil masih terpaku. Berdiri diam di ujung kantong celana laki-laki yang duduk di balik kemudi. Beberapa saat kemudian, benda besar yang mengeluarkan suara deru bergerak perlahan. Semilir angin yang dihempaskan badan besarnya menyusup dari sudut jendela. Hamparan rumah yang berdempet di sepanjang jalan seperti berlari kecil. Pohon-pohon pun tidak mau kalah. Semakin cepat benda besar bermesin itu berlari, semakin jauh pohon dan rumah tertinggal di belakang.
Semut hitam merayap ke atas. Di balik kantong celana dia tidak bisa melihat jauh. Pandangan matanya terbatas. Sedikit demi sedikit dia merangkak. Badan kecilnya tidak terdeteksi oleh laki-laki yang sedang khusuk memperhatikan jalan. Dia sampai di pundak kiri laki-laki. Takjub melihat apa yang dihadirkan penglihatannya. “Aku sedang bermigrasi”

No comments:

Post a Comment